Tuesday, May 29, 2007

saat dia berpaling

tulisan dibawah ini seratus persen bukan hasil karyaku, tapi goresan pena kecil Helvy Tiana Rosa. mulanya iseng cari inspirasi untuk menulis tentang "poeber kedoea, fakta disekitar kita", nggak taunya nyasar ke artikel ini, dan ternyata lebih dari sekedar mewakili apa yang ingin dituangkan dalam ide tadi...
menakjubkan! untaian katanya membuat hati trenyuh, membuka tabir apa yang dirasakan seorang wanita... sebenarnya tulisan untuk sebuah introspeksi diri. selamat menikmati.

Betapa perihnya. Perempuan itu menggigit bibirnya yang tiba-tiba asin darah. Sejak pagi hingga malam menyergap, ia masih menangis. “Tak mungkin,” desisnya, tetapi itu nyata. Ia sendiri yang membaca semua sms mesra itu. Suaminya telah berpaling. Sandaran hidup, pria terbaik di dunia itu, ayah anaknya, berkhianat! Sejauh apakah? Ia gelisah. Ia tatap potret perkawinan di dinding kamar mereka. Tiba tiba tangannya sudah bergerak meraih potret itu namun urung membantingnya. Gumpalan-gumpalan benci semakin membesar. Lalu ia pun tersungkur begitu saja di sudut kamar. Lelaki. Apa mereka semua sama?

Perlahan ia raih lagi ponsel suaminya yang tertinggal hari itu. Nyeri sekali. Perempuan yang entah siapa, hanya berinisial S menyapa suaminya melalui sms dengan “cinta”, “say”, “kiss u”, dan semacamnya. Beberapa saat lalu ia hanya cengengesan membacanya. Mungkin teman yang iseng. Tapi ia terhenyak dan tiba-tiba merasa terbanting. Pada bagian sent, ia melihat balasan sms suaminya! Kata-kata “say” dan “kiss u” juga ada di sana! Airmatanya semakin berderai-derai dan beliung-beliung dari berbagai penjuru menikam batinnya.

Belasan tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal suaminya. Tapi hari itu ia merasa suaminya tak lebih dari orang asing. Sangat asing.

Ia telepon suaminya sambil menangis. “Apakah abang baik-baik saja?” isaknya. Suara sang suami datar menjawab bahwa ia baik-baik saja dan menanyakan kabar istrinya. Perempuan itu tak sanggup. Ia putuskan telepon. Ia sms suaminya dengan satu kata: S.

Dengan bercanda suaminya membalas sms. S? Bukan siapa-siapa. Hanya teman virtual. Bisa jadi siapa saja. Mungkin nenek-nenek atau lelaki.

Tapi perempuan itu telah membaca gelagat. Ia menangkap aroma kebohongan itu.

Dengan sekuat hati mencoba menjaga emosi, ia pergi menuju wartel terdekat. Ia telpon perempuan misterius itu. Ia berpura-pura mengetahui nomor itu dari seseorang dan akan mengabarkan tentang seseorang lainnya yang sakit parah. Suara di ujung telepon menjawab sekadarnya: “Salah sambung!”

“Boleh saya tahu ini siapa?”

“Saya Lina.”

Dengan sebukit ingin tahu yang kian meninggi, perempuan itu menekan nomor hp “S” kembali. “Mohon maaf ya, tapi saya diberikan nomor ini. Apa betul ini Mbak N?”

“Nama saya Shinta! Saya di bandung bukan di Menteng. Saya lagi puasa! Salah sambung!” ketusnya.

Tapi tadi Lina, sekarang Shinta?

Perempuan itu kembali ke rumah dengan langkah yang semakin gontai dan airmata yang terus bercucuran. Ia sms kembali suaminya:

Siapa dia Bang? Mengapa?

Bkn siapa-siapa. Hny teman virtual. Aku malah tdk ingin btemu dngnnya. Tidak ingin tahu siapa dia. Aku hanya curhat.

Curhat? Mengapa bkn dengan aku saja, Bang? Maafkan aku, maafkan kekuranganku hingga Abang harus bpaling. Aku memang istri yang tidak peka dan tidak berguna. Aku merasa….

Sayang, aku yang minta maaf. Mungkin seumur hidup kamu akan terus terluka. Aku menyesal. Apapun kekuranganmu tak boleh membuatku berpaling darimu….

Hening. Airmata.

Entah bagaimana, tiba-tiba kata maaf dan penyesalan dari suaminya bertubi-tubi muncul di ponsel perempuan itu.

Tolong maafkan aku. Aku yang salah karena meladeninya. Aku mrs menemkn sosok ibu rmh tg yg baik pd drnya. Tlg maafkan aku. Jgn hkm dirimu krn keslhanku.

Aku yg slh, bdh, tdk peka. Tidak berguna sbg istri. Setelah ini mgkn aku tak sanggup lg mhadapi matahari.

Perempuan tersebut bersiap siap. Mungkin ia harus pergi. Entah untuk sebentar atau selamanya. Entah kemana. Mungkin ke tempat di mana matahari dan bulan tak ada. Ia menangis lagi saat menatap wajah anaknya.

“Ada apa, Bu? Mengapa hari ini ibu menangis terus?” Tanya sang anak.

Ia tak sanggup menjawab, hanya memeluk. Lalu pelan ia berbisik, “ibu mendapat cerita sedih teman Ibu dari sms. Tolong doakan ya semoga semua baik-baik saja.”

“Tapi mengapa mata ibu sembab?”

Ia paksa membuat lengkung pelangi terbalik di wajahnya. Anaknya tersenyum dan bermain kembali.

Tolong maafkan aku. Hukum aku. Bencilah aku. Ini akan menjadi hukuman seumur hidupku, sms suaminya lagi.

Perempuan itu menatap cermin buram di kamarnya. Apa yang sudah aku lakukan? Apakah aku luput memperhatikan dia? Apa aku terlalu banyak di luar?

“Kamu sangat dibutuhkan masyarakat,” terngiang kata begitu banyak orang, juga suaminya. Benarkah? Tapi ia juga dibutuhkan suami dan anak-anaknya….

Sungguh, perempuan itu telah menetapkan rambu-rambu itu untuknya. Ia baru akan pergi setelah suami dan anak-anaknya keluar rumah dan tiba di rumah sebelum mereka pulang. Ia coba menyempatkan diri memasakkan suaminya, membuatkannya segelas susu setiap pagi. Apakah suaminya ingin ia juga mencuci dan menyetrika baju lelaki tercintanya itu dengan tangannya sendiri? Ia mau sekali. Namun cukupkah waktu untuk itu semua? Bukankah dulu suaminya juga yang berkata bahwa hal seperti itu bisa dilakukan siapa pun, namun apa yang perempuan itu kerjakan, sedikit saja perempuan yang mampu melakukannya.

Bantal yang menyangga kepala perempuan itu telah basah oleh airmata.

Izinkan aku menjelaskan semua. Tlg maafkan aku. Mohon bukakan pintu rmh untukku mlm ini…, jangan pergi….

Perempuan tersebut tak lagi membalas sms suaminya. Haruskah ia pergi malam ini? Bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana pernikahan mereka? Haruskah berpisah? Ah, ia berharap kini ia tengah tertidur, lalu kecupan mesra sang suami membangunkannya dari semua mimpi buruk.

Perlahan diseretnya kakinya yang seakan-akan melemah, ke kamar mandi. Ia siramkan air ke wajahnya. Lalu ia berwudhu. Ia harus segera menghadapNya untuk mendapatkan ketenangan. Bernaung dalam cintaNya di saat ia tak lagi merasa memiliki cinta sejati di dunia ini selain kasih ibu.

Ia tak tahu sudah berapa lama ia tersungkur di atas sajadah, ketika sayup-sayup terdengar langkah suaminya. Hari sudah larut. Penghuni rumah yang lain telah lelap. Ia hapus airmata di pipi dan bangkit. Ia akan membuka pintu rumah dan menghadapi sendiri seperti apa mimik suaminya saat mereka bertatapan pertama kali setelah peristiwa itu.

Tak ada kata kecuali salam yang diucapkan dan dijawab. Perempuan itu mencium tangan suaminya dengan kaku. Dan lelaki itu mengecup pipi, kening serta bibir sang istri, seperti sebuah ritual yang ia lakukan dengan kesadaran penuh.

Baru beberapa langkah, lelaki itu memegang tangan istrinya dan berkata: “Bolehkah aku memelukmu?”

Perempuan itu hanya diam. Suaminya memeluknya dengan kuat diiringi bertubi maaf. Perempuan itu berderai-derai. Apakah ini suamiku? Atau entah orang asing mana? Ia merasa dirinyalah yang terasing di antara suaminya dan perempuan berinisial S itu.

Perempuan itu terlalu luka untuk mengumbar amarah. Ia hanya terdiam. Menjaga malam dengan matanya yang berembun. Namun suaminya tak juga beranjak dari sisinya.

Lampu telah mati sejak tadi. Mereka berbaring bersama bersisian. Setelah beberapa saat udara hampa kata, dengan suara bergetar lagi-lagi suaminya meminta maaf. “Aku yang salah. Aku egois. Aku tergoda. Meski kami belum pernah bertemu dan hanya berkirim email serta sms, aku telah mengkhianatimu.” Lelaki itu tak lepas mencium tangan istrinya.

Senyap. Perempuan itu menelan lukanya. “Siapa dia, Bang? Apa dia sudah menikah?”

Suaminya menyebut nama perempuan itu. Janda cerai hidup dengan dua anak. Ibu rumah tangga biasa. “Tapi kami belum pernah bertemu.”

Janda? Cerai hidup? Dua anak? Perempuan itu terhenyak. “Belum bertemu tapi mengapa begitu akrab? Ia bahkan tahu nama anak-anak dan saudara kita?”

“Karena aku sering bercerita padanya.”

“Dan dia? Tidakkah dia juga sering bercerita?”

“Ya. Semua terjadi begitu saja. Mengalir begitu saja. Tiba-tiba di dunia itu kami menjadi sangat akrab…,maafkan aku….”

Sembilu memahatkan lagi luka yang nanah di batin istrinya. “Aku yang salah,” suara istrinya bergetar. “Mungkin terlalu banyak celah dalam diriku yang membuat perempuan itu bisa masuk dalam batinmu. Akulah pintunya. Mungkin karena aku terlalu sibuk. Mungkin karena aku tak pintar mengurus rumah tangga….”

“Tidak,” lelaki itu mengecup kening istrinya. “Itu salahku. Hatiku tak bersih. Seharusnya aku tak egois. Kamu istriku, adalah harapan banyak orang. Aku yang egois….”

“Kita sudah sepakat menjaga komunikasi. Aku tak mengerti. Aku memang bodoh dan tidak peka,” kata perempuan itu lagi.

Suaminya terus menggenggam jemari istrinya, mengecup dan menaruh di dadanya.

Perempuan itu masih menangis. “Lalu apa, Bang? Apa yang harus kulakukan?”

Suaminya menarik napas panjang sambil membelainya. “Tidak ada. Aku yang harus bertobat. Aku malu pada Tuhan, padamu, pada dunia….”

Hening. Lalu ia dengar suaminya terisak dengan dada berguncang, mendekapnya erat. “Tolong beri aku kesempatan. Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Aku tak akan pernah lagi berpaling darimu. Tak akan pernah meninggalkanmu….”

Perempuan itu menatap langit kamar yang kelabu. Belasan tahun bersama, berapa banyak kebohongan di antara mereka? Ia merasa mengenal suaminya sangat baik. Kalau ada lelaki di zaman ini yang tak pernah berbohong, maka ia begitu yakin itu adalah suaminya. Dan kini, apa yang tersisa dari keyakinan itu?

Ia gigit lagi bibir bawahnya dan masih menemukan asin darah yang sama. Ah, ia merintih menahan perih itu. Hampir setiap saat ia menampung keluh kesah para sahabat dan banyak teman tentang suami-suami mereka yang berselingkuh. Dan apa yang ia katakan? Kalau suamimu selingkuh, introspeksi dirimu. Baca kembali dirimu, mungkin ada yang keliru dengan buku hidupmu. Namun bila selingkuh itu telah sampai pada kontak fisik, engkau tak salah bila memutuskan pergi dari hidupnya. Dan bila itu terjadi padaku—kata perempuan itu---aku akan benar-benar pergi! Ah, tapi kan suamiku bukan seperti suami perempuan lain…, yakinnya dulu. Ya dulu sampai dengan hari itu.

Malam semakin larut dan dingin. Perempuan itu menggigil menyadari apa yang terjadi. Berapa lama? Tiga bulan, kata suaminya. Perempuan itu mengirim email lebih dulu. Suaminya menjawab. Semakin lama email-email itu kian panjang. Berseliweran setiap hari dan meningkat pada sms. Setelah itu? Perempuan tersebut bergidik. “Kami belum pernah bertemu…,” terngiang lagi kata suaminya. “Aku hanya pernah melihat fotonya….”

Tapi sapa mesra itu?

“Maafkan aku…,”lirih suaminya. “Maafkan aku…,” katanya tak putus sambil mendekap istrinya yang kaku.

Bulan mulai lelah. Sebentar lagi mentari akan menggantikan tugasnya menerangi bumi. Namun apakah kata maaf dari suaminya dapat menerangi lagi batin perempuan itu?

Kaku sekali ia beringsut mendekati dengan suaminya. Ia rasakan letupan duka itu saat ia mendekap suaminya. “Maafkan aku juga….”

“Cinta, kamu tak salah, aku yang salah,” itu lagi kata suaminya. Lelaki itu terisak di dadanya.

Dengan mata yang terus terjaga perempuan itu berusaha menghentikan airmatanya. Ia bersyukur hari itu ia tak emosi, apalagi memaki-maki perempuan itu. Ia hanya introspeksi, meminta maaf pada suaminya dan mengadu pada Allah….

“Apakah aku masih diberi kesempatan untuk mendampingi dan menjagamu selamanya?” tanya suaminya.

Mereka bertatapan.

Dalam genangan lara perempuan itu mengangguk. Tapi ia sungguh tak tahu sampai kapan luka itu sembuh. Dan S? Ah, perempuan seperti apa yang tega menggoda dan mencoba merenggut kebahagiaannya?

Duka dan maaf berarak dalam kamar yang gelap. Sepasang cinta dengan sayap luka berdekapan hingga pagi menyapa. Berharap sabar dan sesal dapat melelehkan luka yang batu.

(untuk seorang sahabat, dengan empati yang dalam)

Bersambung dalam "saat dia berpaling 2, 3, dan 4"



6 comments:

dee said...

perempuan emang banyak pertimbangan ya..

dwi hendra said...

ada kalanya;
- diam, menyelesaikan masalah...
- malu, mencegah keburukan...
- banyak pertimbangan, menyelamatkan kehidupan...

Anonymous said...

Da kalanya ndro, dan tidak selalu..

Anonymous said...

perempuan kayaknya sih..lebih banyak juga pake perasaan...

Bude Judes said...

Pokok e durung kontak pisik ga po po mas :P. Kan cm gebetan virtual. Ga usah kopi darat ha ha ha

dwi hendra said...

wah piye ki ngrespone, ketoke kalah adhoh jam terbange, lawane isih bau kencur ki, wakakaka...

btw, cerita ini khan menyoroti perasaan sang istri, saat mengetahui suaminya 'berpaling'...
perlu satu cerita lagi nih (sebenarnya), dr sudut pandang berlawanan, bgm perasaan suami klo mengetahui istrinya 'berpaling'...